A. Pengertian Aborsi
Aborsi adalah
tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan
(sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan jiwa ibu
hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki
kehamilan itu.
Di kalangan
ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran kandungan) yakni abortus
spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah merupakan mekanisme alamiah
yang menyebabkan terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu.
Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang diderita si ibu ataupun sebab-sebab
lain yang pada umumnya gerhubungan dengan kelainan pada sistem reproduksi.Lain
halnya dengan abortus buatan, abortus dengan jenis ini merupakan suatu upaya
yang disengaja untuk menghentikan proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu,
dimana janin (hasil konsepsi) yang dikeluarkan tidak bisa bertahan hidup di
dunia luar.
Abortus
buatan, jika ditinjau dari aspek hukum dapat digolongkan ke dalam dua golongan
yakni :
1.
Abortus buatan
Legal
Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat
dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Populer juga disebut
dengan abortus provocatus therapcutius, karena alasan yang sangat
mendasar untuk melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa/menyembuhkan si
ibu.
2.
Abortus Buatan
Ilegal
Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain dari
pada untuk menyelamatkan/ menyembuhkan si ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak
kompeten serta tidak memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh
undang-undang.Abortus golongan ini sering juga disebut dengan abortus
provocatus criminalis, karena di dalamnya mengandung unsur kriminal atau
kejahatan.
B. Aspek Hukum Mengenai Aborsi
Di negara
Indonesia, dimana dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tindakan
pengguguran kandungan yang disengaja digolongkan ke dalam kejahatan terhadap
nyawa (Bab XIX pasal 346 s/d 349). Namun dalam undang-undang Nomor 23 Tahun
1992 Tentang kesehatan pada pasal 15 dinyatakan bahwa dalam keadaan darurat
sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya, dapat dilakukan
tindakan medis tertentu.
Dalam KUHP Bab XIX Pasal 346 s/d 349 dinyatakan sebagai
berikut:
Pasal 346 : “Seorang wanita yang sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun”.
Pasal 347 : (1)Barang siapa dengan sengaja menggugurkan
atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2)Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 : (1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan
atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2)
Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut,diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 : “Jika seorang dokter, bidan atau juru obat
membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346, ataupun membantu melakukan
salah satu kejahatan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam
pasal itu dapat dditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk
menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan”.
Dari rumusan pasal-pasal tersebut diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Seorang wanita hamil yang sengaja melakukan abortus atau
ia menyuruh orang lain, diancam hukuman empat tahun penjara.
2. Seseorang yang sengaja melakukan abortus terhadap ibu
hamil, dengan tanpa persetujuan ibu hamil tersebut, diancam hukuman penjara 12
tahun, dan jika ibu hamil tersebut mati, diancam 15 tahun penjara.
3. Jika dengan persetujuan ibu hamil, maka diancam hukuman
5,5 tahun penjara dan bila ibu hamilnya mati diancam hukuman 7 tahun penjara.
4. Jika yang melakukan dan atau membantu melakukan abortus
tersebut seorang dokter, bidan atau juru obat (tenaga kesehatan) ancaman
hukumannya ditambah sepertiganya dan hak untuk berpraktek dapat dicabut.
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
C. Aborsi Pada Remaja Indonesia
Keputusan
untuk melakukan aborsi bukan merupakan pilihan yang mudah. Banyak perempuan
harus berperang melawan perasaan dan kepercayaannya mengenai nilai hidup
seorang calon manusia yang dikandungnya, sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Belum lagi penilaian moral dari orang-orang sekitarnya bila sampai tindakannya
ini diketahui. Hanya orang-orang yang mampu berempati yang bisa merasakan
betapa perempuan berada dalam posisi yang sulit dan menderita ketika harus
memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya.
Aborsi sering
kali ditafsirkan sebagai pembunuhan bayi, walaupun secara jelas Badan Kesehatan
Dunia (WHO) mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan sebelum janin
dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu (WHO 2000). Dengan
perkembangan tehnologi kedokteran yang sedemikian pesatnya, sesungguhnya
perempuan tidak harus mengalami kesakitan apalagi kematian karena aborsi sudah
dapat diselenggarakan secara sangat aman dengan menggunakan tehnologi yang
sangat sederhana. Bahkan dikatakan bahwa aborsi oleh tenaga profesional di
tempat yang memenuhi standar, tingkat keamanannya 10 kali lebih besar
dibandingkan dengan bila melanjutkan kehamilan hingga persalinan.
Sayangnya,
masih banyak perempuan di Indonesia tidak dapat menikmati kemajuan tehnologi
kedokteran tersebut. Mereka yang tidak punya pilihan lain, terpaksa beralih ke
tenaga yang tidak aman yang menyebabkan mereka beresiko terhadap kesakitan dan
kematian. Terciptanya kondisi ini terutama disebabkan karena hukum di Indonesia
masih belum berpihak kepada perempuan dengan melarang tindakan ini untuk
dilakukan kecuali untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Akibatnya, banyak tenaga
profesional yang tidak bersedia memberikan pelayanan ini; walaupun ada,
seringkali diberikan dengan biaya yang sangat tinggi karena besarnya
konsekuensi yang harus ditanggung bila diketahui oleh pihak yang berwajib.
Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia setiap tahunnya cukup beragam. Hull,
Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan antara 750.000 hingga 1.000.000
atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Saifuddin (1979 di dalam Pradono dkk 2001)
memperkirakan sekitar 2,3 juta. Sedangkan sebuah studi terbaru yang
diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia
memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta
(Utomo dkk 2001).
Menjadi remaja
berarti menjalani proses berat yang membutuhkan banyak penyesuaian dan
menimbulkan kecemasan. Lonjakan pertumbuhan badani dan pematangan organ-organ
reproduksi adalah salah satu masalah besar yang mereka hadapi. Perasaan seksual
yang menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja meskipun kadarnya
berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga kemampuan untuk mengendalikannya.
Di Indonesia
saat ini 62 juta remaja sedang bertumbuh di Tanah Air. Artinya, satu dari lima
orang Indonesia berada dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon generasi
penerus bangsa dan akan menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Tentunya,
dapat dibayangkan, betapa besar pengaruh segala tindakan yang mereka lakukan
saat ini kelak di kemudian hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi
bangsa di masa depan.
Ketika mereka
harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan
fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras
menyembunyikan segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta
tanda tanya yang lalu lalang di kepala mereka.Pandangan bahwa seks adalah tabu,
yang telah sekian lama tertanam, membuat remaja enggan berdiskusi tentang
kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih memprihatinkan, mereka
justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas seksualitas dengan anggota
keluarganya sendiri.
Tak
tersedianya informasi yang akurat dan “benar” tentang kesehatan reproduksi
memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus
komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang.
Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks
tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang dan risiko yang harus
dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap pelajaran seks dari
internet, meski saat ini aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3%, dan
sudah muncul situs-situs pelindung dari pornografi . Hasilnya, remaja yang
beberapa generasi lalu masih malu-malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks
di usia dini, 13-15 tahun.
Hasil
penelitian di beberapa daerah menunjukkan bahwa seks pra-nikah belum terlampau
banyak dilakukan. Di Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung: 0,4 – 5% Di Surabaya:
2,3% Di Jawa Barat: perkotaan 1,3% dan pedesaan 1,4%. Di Bali: perkotaan 4,4.%
dan pedesaan 0%. Tetapi beberapa penelitian lain menemukan jumlah yang jauh
lebih fantastis, 21-30% remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung,
Jakarta, Yogyakarta telah melakukan hubungan seks pra-nikah.
Berdasarkan hasil penelitian Annisa Foundation pada tahun
2006 yang melibatkan siswa SMP dan SMA di Cianjur terungkap 42,3 persen pelajar
telah melakukan hubungan seks yang pertama saat duduk di bangku sekolah.
Beberapa dari siswa mengungkapkan, dia melakukan hubungan seks tersebut
berdasarkan suka dan tanpa paksaan.
Ketakutan akan
hukuman dari masyarakat dan terlebih lagi tidak diperbolehkannya remaja putri
belum menikah menerima layanan keluarga berencana memaksa mereka untuk
melakukan aborsi, yang sebagian besar dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa
mempedulikan standar medis. Data WHO menyebutkan bahwa 15-50 persen kematian
ibu disebabkan karena pengguguran kandungan yang tidak aman. Bahkan Departemen
Kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus aborsi pada
remaja atau 30 persen dari total 2 juta kasus di mana sebgaian besar dilakukan
oleh dukun.
D. Resiko Aborsi
Aborsi
memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan maupun keselamatan seorang
wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa jika seseorang melakukan aborsi ia
“tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang”.
Ada
2 macam resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi:
1)
Resiko
kesehatan dan keselamatan fisik
Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu:
Pada saat melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku “Facts of Life” yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu:
a.
Kematian
mendadak karena pendarahan hebat
b.
Kematian
mendadak karena pembiusan yang gagal
c.
Kematian
secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan
d.
Rahim
yang sobek (Uterine Perforation)
e.
Kerusakan
leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada anak
berikutnya
f.
Kanker
payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita
g.
Kanker
indung telur (Ovarian Cancer)
h.
Kanker
leher rahim (Cervical Cancer)
i.
Kanker
hati (Liver Cancer)
j.
Kelainan
pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat
pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
k.
Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan
lagi (Ectopic Pregnancy)
l.
Infeksi
rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease)
m.
Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
2)
Resiko
kesehatan mental
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita.
Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review (1994).
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita.
Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam penerbitan The Post-Abortion Review (1994).
Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami
hal-hal seperti berikut ini:
1. Kehilangan harga diri (82%)
2. Berteriak-teriak histeris (51%)
3. Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
4. Ingin melakukan bunuh diri (28%)
5. Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%)
6. Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)
Diluar hal-hal tersebut diatas para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.
1. Kehilangan harga diri (82%)
2. Berteriak-teriak histeris (51%)
3. Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
4. Ingin melakukan bunuh diri (28%)
5. Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%)
6. Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%)
Diluar hal-hal tersebut diatas para wanita yang melakukan aborsi akan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun dalam hidupnya.